Rabu, 28 Maret 2012

"LA’BO BALIDA"




LA’BO BALIDA
K
isa ini diawali dengan kehidupan salah satu keluarga yang berada pada sebuak desa di duri enrekang. Keluara itu terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Mereka hidup di tengah masyarakat duri lainnya. Namun, keluarga mereka adalah keluarga yang sangat sederhana. Tiap hari sang ayah pergi mencari napkah untuk kelurganya. Namun, pendepatannya takpernah cukup untuk biaya hidup sehari-hari  anak dan istrinya. Setiap kali sang suami pulang dari kerja, istrinya bertanya tentang hasil kerja suaminya seharian. Ia selalu menjawab “ ia malando ia disambung, ia bondik ia dile’toi “ ( yang panjang di sambung, yang pendek dipotong ).
            Setiap kali sang istri bertanya, ia selalu memberi jawaban itu, karna penasaran atas jawaban suami akhirnya diam-diam sang istri  mngikutinya dari belakang. Akhirnya, ia tahu apa yang dikerjakan suaminya setiap hari. Ia memburu tokek bukan menggarap kebun.
            Ketika tiba di rumah, sang istri pura-oura bertanya lagi kepada sang suami tentang hasil dari pekerjaannya sharian. Jawaban yang di duga sang istri ternyata benar, ayah dari dua anaknya masih seperti kemarin.
            “ ia malando, ia disambung, ia bondik, ia dile’toi. “  demikian jawaban suami yang tak berubah.
            Mendengar jawaban itu, istrinya menjadi  jengkel dan berkata kepada suaminya, “ tokek balimbing bullopa ‘ wainna tang bollopa’, isinna “. Mendengar pernyataan itu, sang suami sangat marah dan tersinggung hingga mengeluarkan la’bo balida’ ( parang yang panjang ) miliknya dan mengibaskannya ke kepala sang istri sambil menangis, sang istri berlari kearah sebuah sumur  di samping rumahnya. Tampa pikir panjang, ia melompat kedalamnya dan sekejap menghilang.
            Kedua anaknya yang masi balita mengejar ibunya, namun ereka tak berhasi memegangnya.  Setelah kejadian ini, kedua anaknya takhenti-hentinya menangis. Mereka tak meu meninggalkan mulut sumur dan terus menunggu ibunya dan berharap akan muncul. Namun, hal itu sia-sia. Ibunya tak kunjung datang.
            Dengan perasaan sedih, kedua anak itu akhirnya berjalan meninggalkan sumur dan terus mencari ibunya. Mereka akhirnya tiba pada hutan yang lebat. Disana mereka tersesat tak ada yang tahu jalan pulang. Namun, ditengah hutan mereka menjumpain seorang nenek dan mereka dibawa le rumahnya yang juga terletak di dalam hutan.
            Akhirnya, kedua anak itu tinggal bersama dengan nenek tersebut. Tiap hari, menikmati makanan yang enak sehingga mereka betah tinggal di hutan. Tampa terasa, mereka mulai tumbuh dewasa.
            Suatu hari, sang nenek nertanya kepada kedua anak itu “ ombomi pada  atemu amppo..? “ ( sebesar apa sekarang hatimu ... ? ) kemudian menjawab    pada tonggomi lubang pao “  sudah sebesar biji mangga mengkal )
            Wanti tersebut penasaran dan meminta agar mereka menceritakan kisahnya. Setelah mendengar cerita tersebut, ia berkata bahwa jika memang kalian anak-anakku maka kalian akan mampu mengisi penuh buriah ( sangkar ayam ) dengan air. Sambil menangis mereka menuju sumur dan  mengisi air sangkar itu. Namun, buriah itu tak  kunjung penuh karna airnya keluar melalui lubang-lubangnya dengan lendirnya sehingga air dapat tertampung.
            Setelah penuh, mereka membawanya pulang. Melihat buria  itu, wanita tersebut percaya bahwa mereka adalah anak kandungnya yang ditinggalkan beberapa tahun silam. Mereka berpelukan. Sang ibu merasa berdosa karena menelantarkan kedua puterinya apalagi  setelah bertemu sang nenek yang hampir menikmati  kedua  buah hatinya.Ia pun menyesal talah memperlakukan mereka sangat buruk dengan memberinya sisa makanan kucing.
            Beberapa hari setelah pertemuan itu, sang nenek datang mencari kedua anak tersebut dan bertemu dengan ibu mereka. Berdasarkan cerita anak- anaknya, ia tahu siapa  nenek itu.” Deen raka mikita ampoku’ duai sola”( adakah kamu melihatcucuku, mereka dua oang) tanya nenek. “Deen , tapi te’dai tu to’o. Masawapa namiratu pole” (ada tapi  mereka sekarang tidak ada, besok nenek datang kembali .
Datanglah nenek itu dan bertanya lagi tentang keberadaan  kedua anak  yang ia cari. Sang ibu menjawab mereka ada di dalam kamar. Tetapi sang ibu berpura – pura meminta tolong untuk diambilkan sendok yang jatuh tepat berada di bawa  dapur tempat ia memasak air. Tampa pikir lagi, nenek mengambil sendok tersebut dan sekejap sang ibu menumpahkan air mendidih kebadan  nenek sehingga ia berubah wujud menjadi seekor lintah akhirnya sang ibu dan kedua anaknya melakoni hidup bahagia bersama.

Diriwayatkan  oleh: Risma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar