LA’BO BALIDA
isa ini diawali dengan kehidupan salah satu keluarga
yang berada pada sebuak desa di duri enrekang. Keluara itu terdiri dari ayah,
ibu, dan dua orang anak. Mereka hidup di tengah masyarakat duri lainnya. Namun,
keluarga mereka adalah keluarga yang sangat sederhana. Tiap hari sang ayah
pergi mencari napkah untuk kelurganya. Namun, pendepatannya takpernah cukup
untuk biaya hidup sehari-hari anak dan
istrinya. Setiap kali sang suami pulang dari kerja, istrinya bertanya tentang
hasil kerja suaminya seharian. Ia selalu menjawab “ ia malando ia disambung, ia
bondik ia dile’toi “ ( yang panjang di sambung, yang pendek dipotong ).
Setiap
kali sang istri bertanya, ia selalu memberi jawaban itu, karna penasaran atas
jawaban suami akhirnya diam-diam sang istri
mngikutinya dari belakang. Akhirnya, ia tahu apa yang dikerjakan
suaminya setiap hari. Ia memburu tokek bukan menggarap kebun.
Ketika
tiba di rumah, sang istri pura-oura bertanya lagi kepada sang suami tentang
hasil dari pekerjaannya sharian. Jawaban yang di duga sang istri ternyata
benar, ayah dari dua anaknya masih seperti kemarin.
“ ia
malando, ia disambung, ia bondik, ia dile’toi. “ demikian jawaban suami yang tak berubah.
Mendengar
jawaban itu, istrinya menjadi jengkel
dan berkata kepada suaminya, “ tokek balimbing bullopa ‘ wainna tang bollopa’,
isinna “. Mendengar pernyataan itu, sang suami sangat marah dan tersinggung
hingga mengeluarkan la’bo balida’ ( parang yang panjang ) miliknya dan
mengibaskannya ke kepala sang istri sambil menangis, sang istri berlari kearah
sebuah sumur di samping rumahnya. Tampa
pikir panjang, ia melompat kedalamnya dan sekejap menghilang.
Kedua
anaknya yang masi balita mengejar ibunya, namun ereka tak berhasi
memegangnya. Setelah kejadian ini, kedua
anaknya takhenti-hentinya menangis. Mereka tak meu meninggalkan mulut sumur dan
terus menunggu ibunya dan berharap akan muncul. Namun, hal itu sia-sia. Ibunya
tak kunjung datang.
Dengan
perasaan sedih, kedua anak itu akhirnya berjalan meninggalkan sumur dan terus
mencari ibunya. Mereka akhirnya tiba pada hutan yang lebat. Disana mereka
tersesat tak ada yang tahu jalan pulang. Namun, ditengah hutan mereka
menjumpain seorang nenek dan mereka dibawa le rumahnya yang juga terletak di
dalam hutan.
Akhirnya,
kedua anak itu tinggal bersama dengan nenek tersebut. Tiap hari, menikmati
makanan yang enak sehingga mereka betah tinggal di hutan. Tampa terasa, mereka
mulai tumbuh dewasa.
Suatu
hari, sang nenek nertanya kepada kedua anak itu “ ombomi pada atemu amppo..? “ ( sebesar apa sekarang
hatimu ... ? ) kemudian menjawab “ pada tonggomi lubang pao “ sudah sebesar biji mangga mengkal )
Wanti
tersebut penasaran dan meminta agar mereka menceritakan kisahnya. Setelah
mendengar cerita tersebut, ia berkata bahwa jika memang kalian anak-anakku maka
kalian akan mampu mengisi penuh buriah ( sangkar ayam ) dengan air. Sambil
menangis mereka menuju sumur dan mengisi
air sangkar itu. Namun, buriah itu tak
kunjung penuh karna airnya keluar melalui lubang-lubangnya dengan
lendirnya sehingga air dapat tertampung.
Setelah
penuh, mereka membawanya pulang. Melihat buria
itu, wanita tersebut percaya bahwa mereka adalah anak kandungnya yang
ditinggalkan beberapa tahun silam. Mereka berpelukan. Sang ibu merasa berdosa
karena menelantarkan kedua puterinya apalagi
setelah bertemu sang nenek yang hampir menikmati kedua
buah hatinya.Ia pun menyesal talah memperlakukan mereka sangat buruk
dengan memberinya sisa makanan kucing.
Beberapa
hari setelah pertemuan itu, sang nenek datang mencari kedua anak tersebut dan
bertemu dengan ibu mereka. Berdasarkan cerita anak- anaknya, ia tahu siapa nenek itu.” Deen raka mikita ampoku’ duai
sola”( adakah kamu melihatcucuku, mereka dua oang) tanya nenek. “Deen , tapi
te’dai tu to’o. Masawapa namiratu pole” (ada tapi mereka sekarang tidak ada, besok nenek datang
kembali .
Datanglah nenek itu dan bertanya lagi
tentang keberadaan kedua anak yang ia cari. Sang ibu menjawab mereka ada di
dalam kamar. Tetapi sang ibu berpura – pura meminta tolong untuk diambilkan sendok
yang jatuh tepat berada di bawa dapur
tempat ia memasak air. Tampa pikir lagi, nenek mengambil sendok tersebut dan
sekejap sang ibu menumpahkan air mendidih kebadan nenek sehingga ia berubah wujud menjadi
seekor lintah akhirnya sang ibu dan kedua anaknya melakoni hidup bahagia
bersama.
Diriwayatkan oleh: Risma