Rabu, 28 Maret 2012

"BUNTU MATARAN DAN KUTU”


“BUNTU MATARAN DAN KUTU”
D
idaaerah Baroko terdapat sebuah gunung yang terdiri dari batu-batu tajam yang menjulang tinggi ke langit. Bentuk batu ini bermacam-macam, ada yang menyerupai jarum, parang, linggis, sehingga penduduk setempat memberinya nama Buntu Mataran ( Gunung tajam ).
Dikisahkan pada saman dahulu kala, ada seorang anak yang memiliki banyak kutu, karena banyak sekali sampai kutu-kutunya itu dapat di lihat berkeliaran dileher dan wajahnya. Orang tuanya pun sudah beberapa kali ingin melepaskan kutu-kutu itu dari rambutnya namun anak itu selalu menulak. Bahkan bujukan apapun selalu di abaikan, sehingga lama-kelamaan kutu itu semakin banyak dan tubuhnya pun tidak cukup lagi menampung kutu-kutu itu.
Kutu-kutu itu mulai tinggal di tempat tidur anak tersebut, bahkan seisi  rumahnya telah menjadi sarang kutu. Hingga pada suatu hari, kutu-kutu itu kelaparan dan kulit anak itu yang menjadi tempat mereka mengisap darah. Maka kutu-kuttu menarik anak itu keatas gunung tersebut. Lalu anak itu diangkat tepat  diatas batu-batu yang tajam dan dijatuhkan. Sekejap saja darah telah berceceran dan anak itu meninggal dunia, dengan cepat kutu-kutu itu mengisap darah yang berceceran.
Hingga saat ini masayarakat setempat sering membicarakan kisah ini kepada anak cucu mereka terutama yang memiliki banyak kutu dan tidak mau atau malas jika kutunya mau di keluarkan.

Diriwayatkan oleh : Yusri siduppa

"LA’BO BALIDA"




LA’BO BALIDA
K
isa ini diawali dengan kehidupan salah satu keluarga yang berada pada sebuak desa di duri enrekang. Keluara itu terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak. Mereka hidup di tengah masyarakat duri lainnya. Namun, keluarga mereka adalah keluarga yang sangat sederhana. Tiap hari sang ayah pergi mencari napkah untuk kelurganya. Namun, pendepatannya takpernah cukup untuk biaya hidup sehari-hari  anak dan istrinya. Setiap kali sang suami pulang dari kerja, istrinya bertanya tentang hasil kerja suaminya seharian. Ia selalu menjawab “ ia malando ia disambung, ia bondik ia dile’toi “ ( yang panjang di sambung, yang pendek dipotong ).
            Setiap kali sang istri bertanya, ia selalu memberi jawaban itu, karna penasaran atas jawaban suami akhirnya diam-diam sang istri  mngikutinya dari belakang. Akhirnya, ia tahu apa yang dikerjakan suaminya setiap hari. Ia memburu tokek bukan menggarap kebun.
            Ketika tiba di rumah, sang istri pura-oura bertanya lagi kepada sang suami tentang hasil dari pekerjaannya sharian. Jawaban yang di duga sang istri ternyata benar, ayah dari dua anaknya masih seperti kemarin.
            “ ia malando, ia disambung, ia bondik, ia dile’toi. “  demikian jawaban suami yang tak berubah.
            Mendengar jawaban itu, istrinya menjadi  jengkel dan berkata kepada suaminya, “ tokek balimbing bullopa ‘ wainna tang bollopa’, isinna “. Mendengar pernyataan itu, sang suami sangat marah dan tersinggung hingga mengeluarkan la’bo balida’ ( parang yang panjang ) miliknya dan mengibaskannya ke kepala sang istri sambil menangis, sang istri berlari kearah sebuah sumur  di samping rumahnya. Tampa pikir panjang, ia melompat kedalamnya dan sekejap menghilang.
            Kedua anaknya yang masi balita mengejar ibunya, namun ereka tak berhasi memegangnya.  Setelah kejadian ini, kedua anaknya takhenti-hentinya menangis. Mereka tak meu meninggalkan mulut sumur dan terus menunggu ibunya dan berharap akan muncul. Namun, hal itu sia-sia. Ibunya tak kunjung datang.
            Dengan perasaan sedih, kedua anak itu akhirnya berjalan meninggalkan sumur dan terus mencari ibunya. Mereka akhirnya tiba pada hutan yang lebat. Disana mereka tersesat tak ada yang tahu jalan pulang. Namun, ditengah hutan mereka menjumpain seorang nenek dan mereka dibawa le rumahnya yang juga terletak di dalam hutan.
            Akhirnya, kedua anak itu tinggal bersama dengan nenek tersebut. Tiap hari, menikmati makanan yang enak sehingga mereka betah tinggal di hutan. Tampa terasa, mereka mulai tumbuh dewasa.
            Suatu hari, sang nenek nertanya kepada kedua anak itu “ ombomi pada  atemu amppo..? “ ( sebesar apa sekarang hatimu ... ? ) kemudian menjawab    pada tonggomi lubang pao “  sudah sebesar biji mangga mengkal )
            Wanti tersebut penasaran dan meminta agar mereka menceritakan kisahnya. Setelah mendengar cerita tersebut, ia berkata bahwa jika memang kalian anak-anakku maka kalian akan mampu mengisi penuh buriah ( sangkar ayam ) dengan air. Sambil menangis mereka menuju sumur dan  mengisi air sangkar itu. Namun, buriah itu tak  kunjung penuh karna airnya keluar melalui lubang-lubangnya dengan lendirnya sehingga air dapat tertampung.
            Setelah penuh, mereka membawanya pulang. Melihat buria  itu, wanita tersebut percaya bahwa mereka adalah anak kandungnya yang ditinggalkan beberapa tahun silam. Mereka berpelukan. Sang ibu merasa berdosa karena menelantarkan kedua puterinya apalagi  setelah bertemu sang nenek yang hampir menikmati  kedua  buah hatinya.Ia pun menyesal talah memperlakukan mereka sangat buruk dengan memberinya sisa makanan kucing.
            Beberapa hari setelah pertemuan itu, sang nenek datang mencari kedua anak tersebut dan bertemu dengan ibu mereka. Berdasarkan cerita anak- anaknya, ia tahu siapa  nenek itu.” Deen raka mikita ampoku’ duai sola”( adakah kamu melihatcucuku, mereka dua oang) tanya nenek. “Deen , tapi te’dai tu to’o. Masawapa namiratu pole” (ada tapi  mereka sekarang tidak ada, besok nenek datang kembali .
Datanglah nenek itu dan bertanya lagi tentang keberadaan  kedua anak  yang ia cari. Sang ibu menjawab mereka ada di dalam kamar. Tetapi sang ibu berpura – pura meminta tolong untuk diambilkan sendok yang jatuh tepat berada di bawa  dapur tempat ia memasak air. Tampa pikir lagi, nenek mengambil sendok tersebut dan sekejap sang ibu menumpahkan air mendidih kebadan  nenek sehingga ia berubah wujud menjadi seekor lintah akhirnya sang ibu dan kedua anaknya melakoni hidup bahagia bersama.

Diriwayatkan  oleh: Risma

"CADO’ DONG"


CADO’ DONG
K
onon dahulu kala ada seorang pria tampan yang perkasa yang bernama Cado’Dong, iya hidup dengan ibu dan enam orang kakaknya. Mereka tinggal di tanah duri tepatnya di kampung ULU WAI (PAROMBEAN, DAERAH CURIO).
Ia seorang pemuda yang giat dan ulet dalam nekerja sehingga ia mempunyai kebun , sawah, dan ternak yang sangat banyak  . dengan usahanya yang berhasil itu, membuat keenam saudaranya itu iri hati.
Suatu hri kampungnya didatangi oleh seorang pria yang berasal dari kampung seberang. Ia juga bekerja seperti cadodong. Lain hari usaha cadodong semakin sukses. Keadaan tersebut membuat pria pendatang ini takut usahanya akan disaingi. Oleh sebabb itu, ia mempengaruhi ke enam seudaranya cadodong agar membunuh cadodong.
Akhirnya, pria pendatang dan saudara cadodong menyusun strategi. Mereka membuat duni(peti orang mati yang mirip perahu londo). Setelah peti itu usai cadodong meminta merbahkan badannya pada peti tersebut. Saudara-saudara cadodong ternyata berniat jahat dan bermaksud untuk membunuh saudara kandungnya sendiri.
Saat seloruh badan cadodong rapat pada duni dengan cepat mereka menutup duni itu lalu melemparkannya kesungai ( konon dilempar kesungai mata allo) akan tetapi, hewan peliharaannya, anjing dan ayam, ikut menamani dan selalu berusaha membantu cadodong agar dapat keluar dari peti itu si anjing  menggaruk-garuk peti itu dengan kuku tajamnya. Demikian halnya dengan si ayam ia mencakar-cakar peti dengan kukunya sampai cadodong keluar dari duni. Saat itu cadodong terdampar di tina’ bang, sampe siruk ( daerah anggeraja ).
Setelah berhasil lolos dari maut, ia berjalan kaki menyusuri gunung kegunung, lembah kelembah pada saat memasuki daerah tontonan ia membuat tongkat yang bnerasal dari pohon jeramele ( belimbing ceramai ) lalu ia melanjutkan perjalanannya dan tiba di wilayah malua’ , tepatnya di gunung pangden ( gunung di daerah bassaran, kec. Malua’ )
Ditempat itulah ia menetap dan bermaksud untuk bercocok tanam demi melangsungkan hidupnya. Namun cadodong bingung dengan kondisi tanah yang kering serta sumber air yang sulit. Tampa sengaja ia menghentangkan tongkatnya yang berasal dari batang belimbing itu ke tanah dan mencat dan muncullah sumber air. Tidak lama, tanah itu ditanami jambu air (  penduduk bassaran sebut dola doaba ) dan mangga macan ( pawo dadeko )
Dengan semangat dan kerja kerasnya dalam bercocok tanam, ia menjadi kaya-raya namun, kekeyaannya itu tidak membuat cadodong sombong. Ia sering kali membagi-bagikan hasil kebun sawah dan ternaknya pada masyarakat. Tidak hanya itu saja, peralatan dapur seperti baku ( bakul ) ko’ko’ ( tampi ), lau bolong ( piring yang terbuat dari kayu hitam ) juga diberikan kepada orang yang membutuhkan.


Berita kedermawanan cododong mulai tersiar. Pada suatu hari bnyak orang berbondong-bondong untuk meminta bantuan kepada cododong termasuk kedua saudaranya. Pada saat itu pulalah mereka mengetuhui bahwa orang kaya-raya itu adalah cadodong saudaranya yang telah ia biang, selanjutnya, mereka meminta maaf dan menyesali perbuatannya cadodong pun iklas menerima dan memaafkan mereka.
Akhirnya cadodong hidup bahagia dengan ibunya beserta para saudaranya. Usaha cadodong pun kian sukses dengan bantuan para saudaranya.

Diriwatkan oleh :
Sandiwang dan Baco Sedu




"TUMALING “ PEMBERANI “ DARI TUARA”


"TUMALING “ PEMBERANI “ DARI  TUARA”
S
ebuah kampung terletak enam kilo meter dari kota enrekang, konon kabarnya dulu kala hidup seorang rakyat bernama TUMALING. Seorang lelaki yang memiliki badan yang tegap dan besar.
            Tumaling hidup seorang diri, ia sangat cinta pada kampungnya sehingga setiap ada penduduk asing yang masuk akan ditanya beberapa hal. Salah-satunya adalah tujuan dan maksuh kedatangannya. Ia tak perna memandang apa dan siapa latar belakang tamu yang datang. Jika ada tamu asing yang ia lihat, ia akan segera memiringkan badannya di tengah jalan bertanda tamu harus berhenti dan menjawab peranyaan tumaling. Ia seakan-akan menjadi satpan di kampungnya.
            Dari hari-kehari sikap Tumaling tidak pernah beribah. Ia tidak bosan untuk berjalan dari batas utara ke batas selatan kampungnya. Hal ini a lakukan sendiri setiap ada rakyat lain yang menanyakan prilaku tumaling, ia akan menjawab bahwa kampung kita adalah kampung yang suci, aman dan tentram.  Kita harus seliktif dalam memilih tamu jangan sampai kedatangan  mereka membawa misi tersendiri sehingga akan berdampak negatip pada kampung kita kedepannya.
            Sipat dan sikap pemaling mulai tercium oleh raja. Dari mulut-kemulut, beredar berita bahwa di kampung sana terdapat orang yang akan tuara ( dialok enrekang/posisi badan yang agak miring ) jika ada tamu yang akan masuk. Karena berita itu, akhirnya tumaling di panggail oleh raja.
            Oh..... benarkah engkau rakyatku yang bernama tumaling,?
            Katanya engkau akan tuara, jika ada orang asing yang memasuki kampungmu? Tanya raja..
            Benar raja, sayalah tumaling jawabnya singkat.
            Tumaling dan raja terus berkomonikasi, pada akhirnya raja akan menguji keberanian tumaling yang diceritakan rakyat lainnya.
            Tumaling, saya ingin melihat keberanianmu..!
            Saya ingin kamu menuju keselatan, derah yang terkenal selau kacau karena banyak orang jahat dan pencuri yang tinggl di sana. Jelas raja.
            Lalu? Balas tumaling.
            Bunuh mereka yang kau anggap jahat, selalu buat kekacauan, selalu mencuri.
            Apa ? tumaling dengan nada kaget.
            Tidak itu saja, setelah kau bunuh bawa buktinya ke kempung mu dan kehadapan saya.
            Pakah saya harus membawa jasat mereka, bukankah itu terlalu berat raja, belum lagi jaraknya jauh. Rayu tumaling tidak, kau takperlu bawa mereka. Cukup potongan dan pasangan telinganya melingkar di perutmu yang besar itu. Jika tidak ada bagian perut yang akan terlihat hanya  telinga-telinga  para penjahat  lanjut raja .
            Tumaling akhirnya dikirim ke daerah selatan, setibanya di sana keadaan sebenarnya, raja lebih parah dari pada cerita yang di ceritakan Raja. tumaling pun mulai berpikir dan menyusun stategi untuk membunuh penjahat itu.
            Satu persatu teling di pasang di perut tumaling. Jumlah para penjahat mulai berkurang waktu digariskan raja hampir selesai, sementara penjahat di daerah selatan masi baik.
            Tiap malam tumaling mendeteksi para penjahat lalu menyusun strategi sehingga membuhnya. Rakyat derah  selokan mengakui kehebatan tumaling karena berhasil menghabisi gerombolan pengacau diderah selatan. Akhirnya, daerah selatan mulai aman.
            Kini tiba waktunya tumaling untuk pulang menghadapi raja. Daerah selatan juga mulai aman serta waktu yang telah di gariskan raja hampir usai.sementar, disekitar istana telah banyak orang untuk menunggu kedatangan tumaling. Raja pun demikian. Ia penasaran dengan lingkaran teling diperut tumaling. Tumaling pun tiba, sama seperti yang diminta raja. Perutnya yang besar telah melingkar tali dan di isi dengan teling manusia. Jumlah teling yang terpasang nyaris tidak bisa terhitung, melihat itu, raja dan masyarakat pun mengakui bahwa tumaling pemberasni. Hingga saat ini, kampung kelahiran tumaling bernama Malauwe / tuara dengan alasan bahwa tuara adalah cara tumaling menjaga kampung ini. Masyarakat di kampung tuara banyak yang percaya habwa salah satu kuburan keramat di daerah tuara adalah kuburan tumaling.

                                                                                                            Diriwayatkan oleh : Amran L