Selasa, 23 Oktober 2012

LEASING ( sewa Guna Usaha )


LEASING
(Sewa Guna Usaha)

PENDAHULUAN

Leasing bukan merupakan fenomena baru, namun di negara-negara berkembang, inisiatif menawarkan leasing bagi usaha kecil dan mikro masih sangat jarang. Hal ini sangat mengejutkan mengingat leasing memiliki manfaat besar atas kredit. Manfaat yang paling penting adalah bahwa pengusaha dapat memulai peralatan sebelum mereka benar-benar memilikinya. Artinya, selama periode pembayaran angsuran leasing, pengusaha telah dapat merealisasikan pendapatan ekstra melalui penggunaan peralatan tersebut.

Manfaat lain adalah bahwa leasing tidak menetapkan (atau sangat sedikit) persyaratan agunan. Ini adalah fitur yang akan membuka pintu bagi banyak pengusaha sukses yang  otensial yang melihat aplikasi pinjaman mereka ditolak hanya karena tidak memiliki agunan.  Selain itu manfaat lainnya adalah risiko pengalihan dana – risiko yang paling nyata bagi lembaga keuangan mikro – dapat dicegah dalam leasing, mengingat pendanaan yang langsung diberikan untuk membeli peralatan tanpa pernah melalui tangan lessee.

PENGERTIAN

Leasing atau sewa guna usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang – barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu. Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli untuk dapat lansung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.

Secara umum leasing artinya Equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.




MEKANISME LEASING

Dalam transaksi leasing sekurang-kurangnya melibatkan 4 pihak yang berkepentingan,
antara lain:

1. Lessor
Yaitu perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa pembiyaan kepada pihak lesse dalam bentuk barang modal. Dalam finance lease, lessor bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam operating lease, lessor bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang dan pemberian jasa-jasa yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pengoperasian barang modal tersebut.

2. Lesse 
Yaitu perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiyaan dalam bentuk barang modal dari lessor. Dalam finance lease, lesse bertujuan untuk mendapatkan pembiyaan berupa barang atau peralatan dengan cara pembayaran angsuran atau secara berkala. Sedangkan dalam operating lease, lesse bertujuan dapat memenuhi peralatannya disamping tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa resiko bagi lesse terhadap kerusakan.

3. Pemasok

Yaitu perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada lesse dengan pembayaran secara tunai oleh lessor. Dalam finance  lease, pemasok langsung menyerahkan barang kepada lesse tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiyaan. Sedangkan dalam operating lease, pemasok menjual barangnya langsung kepada lessor dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak secara tunai maupun secara berkala.


4. Bank atau Kreditor

Dalam suatu perjanjian kontrak leasing, pihak bank atau kreditor tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut tetapi bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan pemasok menerima kredit dari bank.






Keterangan gambar:
1. Lesse menghubungi pemasok untuk pemilihan dan penentuan jenis barang, spesifikasi, harga, jangka waktu penagihan, dan jaminan purna jual atas barang yang akan disewa.
2. Lesse melakukan negosiasi dengan lesor mengenai kebutuhan pembiyaan barang modal. Dalam hal ini, lesse dapat meminta lease quotation yang tidak mengikat dari lessor. Dalam quotation terdapat sayrat-syarat pokok pembiyaan leasing, antara lain:  keterangan barang, harga barang, cash security deposit, residual value, asuransi, biaya administrasi, jaminan uang sewa (lease rental), dan persyaratan lainnya.
3. Lessor mengirimkan letter of offer atau commitment letter kepada lesse yang berisi syarat-syarat pokok persetujuan lessor untuk membiayai barang modal yang dibutuhkan  lesse menandatangani dan mengembalikannya kepada lessor.
4. Penandatangan kontrak leasing setelah semua persyaratan dipenuhi lesse dimana kontrak tersebut mencakup hal-hal: pihak-pihak yang terlibat , hak milik, jangka waktu, jasa leasing, opsi bagi lesse, penutupan asuransi, tanggung jawab atas objek leasing, perpajakan jadwal pembayaran angsuran sewa dan sebagainya.
5. Pengiriman order beli kepada pemasok disertai instruksi pengiriman barang kepada lesse sesuai dengan tipe dan spesifikasi barang yang telah disetujui.
6. Pengiriman barang dan pengecekan barang oleh lesse sesuai peranan serta menandatangani surat tanda terima dan perintah bayar yang selanjutnya diserahkan kepada pemasok.
7. Penyerahan dokumen oleh pemasok kepada lessor termasuk faktur dan bukti-bukti kepemilikan barang lainnya.
8. Pembayaran oleh lessor kepada  pemasok
9. Pembayaran sewa (lease payment) secara berkala oleh lessee kepada lesor selama
leasing yang seluruhnya mencakup pengembalian jumlah yang dibiayai beserta
bunganya.

JENIS-JENIS LEASING     

1. Finance Leasing (sewa guna usaha pembiayaan)    
          Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha (lessor) adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Penyewa guna usaha (lessee) biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama perusahaan sewa guna usaha, sebagai pemilik barng modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan dan pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi leasing.   


         Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imblan atau jasa penggunaan barang tersebut lesse akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang yang beruba uang rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama.

2. Operating lease (sewa menyewa biasa)       
          Dalam sewa guna usaha ini, perusahaan sewa guna usaha membeli barang modal dan selanjutnya disewagunakan kepada penyewa guna usaha. Berbeda dengan finance lease, jumlah seluruh pembayaran sewa guna usaha berkala dalam operating lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan perusahaan sewa guna usaha mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang disewa guna usahakan atau melalui beberapa kontrak sewa guna usaha lainnya.  
Perusahaan sewa guna usaha dalam operating lease biasanya bertanggung jawab atas biaya – biaya pelaksanaan sewa guna usaha seperti asuransi, pajak maupun pemeliharaan barang modal yang bersangkutan.


3. Sales – Typed Lease (sewa guna usaha penjualan)

          Suatu transaksi sewa guna usaha, dimana produsen atau pabrikan juga berperan sebagai perusahaan sewa guna usaha sehingga jumlah traksaksi termasuk bagian laba sudah diperhitungkan oleh produsen atau pabrikan.           


4. Leveraged Lease     
          Suatu transaksi sewa guna usaha, selain melibatkan lessor dan lessee juga melibatkan bank atau kreditor jangka panjang yang membiayai bagian terbesar transaksi.


5. Cross Border Lease
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lesse yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lesse terletak pada dua negara berbeda.






PENGGOLONGAN PERUSAHAAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)  

1. Independent Leasing Company      
    Perusahaan sewa guna usaha merupakan suatu perusahaan yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan suatu produsen barang modal sehingga dalam pembiayaan barang modal yang dilakukan oleh independent leasing company ini dapat beragam ( tidak terfokus kepada satu merek barang modal, tetapi dapat terdiri dari berbagai merek maupun jenisnya).        
2. Non Independent Leasing Company          
    Perusahaan sewa guna usaha ini merupakan suatu perusahaan yang mempunyai hubungan langsung dengan produsen barang modal, dimana pendirian perusahaan sewa guna usaha untuk meningkatkan penjualan barang modal yang diproduksi oleh produsen yang bersangkutan.
3. Captive lessor          
    Sering juga disebut two party lessor yang melibat dua pihak.        
4. Lease broker atau packager 
    Berfungsi mempertemukan calon lesse dengan pihak lessor yang membutuhkan suatu barang        modal dengan cara leasing tetapi lease broker ini tidak memiliki barang atau peralatan untuk menangani transaksi leasing untuk atas namanya.



KRITERIA YANG BERLAKU BAIK BAGI LESSE MAUPUN LESSOR :
1.      Lease tersebut mengalihklan pemilikan harta kepada lesse pada ahir periode lease.
2.      Lease tersebut memuat opsi pembelian dengan harga murah.
3.      Jangka Lease sama dengan atau lebih dari 75% taksiran umur ekonomis harta yang lease.
4.      Nilai sekarang pembayaran Lease mnimum, tidak termasuk bagian yang merupakan biaya eksekutori, sama dengan atau lebih besar daripada 90% nilai pasar wajar harta.
Kriteria tambahan yangh berlaku bagi lessor :
1. Ketertagihan(collectibility)pembayaran lease minimum cukup dapat diramalkan.
2.Biaya yang masih akan dikeluarkan oleh lessor telah diketahui. 





PROSEDUR MEKANISME LEASING   


Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebaga berikut :   
1. Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.            
2. Setelah lesse mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.     
3. Lessor mengevakuasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sew lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.           
4. Pada yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dengan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
5. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lesse Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.       
6. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada supplier.
7. Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lesse), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada supplier.           
8. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.   
9. Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah dditentukan dalam kontrak lease. 


           Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut lease agrement, dimana didalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat antara kedua belah pihak. Isi kontrak yang dibuat secara umum memuat antara lain:            
1. Nama dan alamat lease       
2. Jenis barang modal yang diinginkan           
3. Jenis atau jumlah barang yang dileasekan   
4. Syarat – syarat pembayaran            
5. Syarat kepemilikan atau syarat lainnya       
6. Biaya – biaya yang dikenakan        
7. Sangsi – sangsi apabila lesse ingkar janji    
           Setiap fasilitas leasing yang diberikan oleh perusahaan leasing kepada pemohon (Lessee) akan dikenakan berbagai macam biaya yang dibebankan terhadap lesse tidaklah sama.





MANFAAT LEASING
Pembiayaan melalui leasing memberikan beberapa keuntungan anatar lain:
1. Menghemat modal
Untuk memulai usaha, lessee tidak perlu menyediakan dana dalam jumlah besar
untuk menyiapkan barang-barang modal, dana yang tersedia dapat dialokasikan
untuk kebutuhan yang lebih urgent.
2. Diversifikasi sumber-sumber pembiayaan
Adanya sumber pembiyaan selain dari bank akan memberikan keleluasaan dan
alternatif untuk membiayai usahanya tanpa khawatir adanya kebijaksanaan
pengetatan ekspansi kredit perbankan yang akan membahayakan kelanjutan
usahnya.
3. Persyaratan yang kurang ketat dan lebih fleksibel
Dipandang dari sisi perjanjiannya, leasing lebih luwes karena dapat dengan lebih
mudah menyesuaikan dengan keadaan keuangan lessee.
4. Biaya lebih murah
Penggunaan suatu brang atau peralatan melalui metode leasing jauh lebih murah dibandingkan dengan kredit bank berdasarkan perhitungan nilai sekarang (presen  value)                     
5. Di luar neraca (off-balance sheet)
Tidak adanya ketentuan yang mengharuskan untuk mencantumkan transaksi leasing dalam neraca perusahaan, member daya tarik tersendiri bagi lessee yang berartiprosedur pembelian aktiva tidak perlu dipenuhi secara terperinci karena masih dalam batas kewenangan direksi.
6. Menguntungkan arus kas
Keluwesan pengaturan pembayaran sewa sangatlah penting dalam perencanaan arus dana kerena pengaturan ini akan mempunyai dampak yang berarti bagi pendapatan lessee.
7. Proteksi inflasi
Leasing dapat memberikan perlindungan terhadap inflasi dimana dalam tahun-tahun berikutnya setelah kontrak leasing dilakukan khususnya apabila leasing berdasarkan suku bunga tetap maka lessee membayar dengan jumlah tetap atas sisa kewajibannya yang berasal dari pelunasan pembelian yang dilakukan dimasa lalu.
8. Perlindungan akibat kemajuan teknologi
Dengan memanfaatkan leasing, lessee dapat terhindar dari kerugian akibat barang yang disewa tersebut mengalami ketinggalan model atau system yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi.
9. Sumber pelunasan kewajiban
Pembatasan pembelanjaan dalam perjanjian kredit dapat diatasi melalui leasing karena pelunasan atau pembayaran sewa hampir selalu diperkirakan berasal dari modal kerja yang dihasilkan oleh adanya aktiva yang disewa.
10. Kapitalisasi biaya
Adanya biaya-biaya tambahan selain harga perolehan seperti biaya penyerahan, intalasi, pemeriksaan, konsultan, percobaan, dan sebagainya dapat dipertimbangkan sebagai biaya modal yang dapat dibiayai dalam leasing dan dapat disusutkan berdasarkan lamanya masa leasing.
11. Risiko keuangan
Dalam keadaan yang serba tidak menentu, operating lease yang berjangka waktu relatif singkat dapat mengatasi kekhawatiran lessee terhadap risiko keuangan. sehingga lessee tidak perlu mempertimbangkan risiko pada tahap dini yang mungkin
terjadi.

KEKURANGAN LEASING

1. Pembiayaan secara leasing merupakan sumber pembiayaan yang relatif mahal bila dibandingkan dengan kredit investasi dari bank. Hal ini terjadi karena sumber dana lessor pada umumnya dari bank atau lembaga keuangan bukan bank.
2. Barang modal yang dilease tidak dapat dicantumkan sebagai unsur aktiva lesee untuk tujuan "Collateral Credit" dari Bank, yaitu "Trade Creditor" mungkin akan menilai perusahaan tersebut memiliki posisi keuangan yang lemah.
3. Bagi para perusahaan tertentu kadang-kadang timbul masalah prestise antara memiliki barang modal sendiri atau lease.
4. Resiko yang lebih besarpada lessor, artinya adanya tanggung jawab yang menuntut pihak ketiga jika terjadi kecelakaan atau kerusakan atas barang orang lain yang disebabkan oleh "lease property" tersebut, dan juga lessor belum tentu yakin bahwa   barang lease tersebut bebas dari berbagai ikatan seperti "liens" (gadai) "preferences","priorities", “charges" atau kepentingan-kepentingan lainnya.

PERBEDAAN LEASING DENGAN PERJANJIAN LAIN

a. Perbedaan dengan jual beli
1. penyerahan hak milik pada jual beli pasti terjadi setelah pembeli membayar harga barang yang dibeli, sedangkan pada leasing penerahan hak milik terjadi apabila lesse menggunakan hak opsinya.
2. jual beli adalah suatu jenis perjanjian nominative yang bukan merupakan jenis lembaga  pembiayaan, sedangkan leasing adalah jenis perjanjian innominatife yang merupakan lembaga pembiayaan.

b. Perbedaan dengan sewa menyewa
1. pada leasing, masalah jangka waktu perjanjiannya merupakan focus utama karena dengan berakhirnya jangka waktu lesse diberikan hak opsi. Sementara itu, pada sewa menyewa, masalah waktu bukan focus utama .
2. sewa merupakan jenis perjanjian nominative, yaitu suatu jenis perjanjian yang sudah diatur dalam KUH Perdata. Sementara leasingadalah suatu jenis perjanjian innominatif, yang disebut sebagai salah satu lembaga pembiayaan badan usaha.
3. para pihak dalam leasing adalah badan usaha sedangkan dalam sewa menyewa para pihaknya perorangan.
4. pada leasing biasanya dibutuhkan jaminan –jaminan tertentu, sedangkan pada sewa menyewa tidak diperlukan jaminan.
5. pada leasing disertai dengan hak opsi, sedangkan pada sewa menewa hak opsi tidak diperlukan.



PERLAKUAN AKUNTANSI LEASING

 1. Perlakuan Akuntansi oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee)
Kejadian-kejadian yang terjadi di perusahaan setelah diidentifikasi barulah dilakukan pencatatan. Berikut ini akan dijelaskan cara memperlakukan transaksi yang terjadi menurut Standar Akuntansi Keuangan (PSAK no. 30). Perlakuan akuntansi berbeda-beda pada tiap transaksi pada setiap jenis lease.
1.1. Pada Capital Lease
a) Transaksi sewa guna usaha diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva tetap dan kewajiban pada awal masa sewa guna usaha sebesar nilai tunai dari seluruh pembayaran sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus dibayar oleh penyewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha setiap pembayaran sewa guna usaha dialokasikan dan dicatat sebagai angsuran pokok kewajiban sewa guna usaha dan beban bunga berdasarkan tingkat bunga yang diperhitungkan terhadap sisa kewajiban penyewa guna usaha.
b) Tingkat diskonto yang digunakan untuk menentukan nilai tunai dari pembayaran sewa guna usaha adalah tingkat bunga yang dibebankan oleh perusahaan sewa guna usaha atau tingkat bunga yang berlaku pada awal sewa guna usaha.
c) Aktiva yang disewaguna usahakan harus diamortisasi dalam jumlah yang wajar berdasrskan taksiran masa manfaatnya.
d) Kalau aktiva yang disewa guna usaha dibeli sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha, maka perbedaan antara pembayaran yang dilakukan dengan sisa kewajiban dibebankan atau dikreditkan pada tahun berjalan.
e) Kewajiban sewa guna usaha harus disajikan sebagai kewajiban lancar dan jangka panjang sesuai praktek yang lazim untuk jenis usaha penyewa guna usaha.
f) Dalam hal melakukan penjualan dan penyewaan kembali (sales and leaseback) maka transkasi tersebut haru dilakukan sebagai dua transaksi terpisah, yaitu transaksi penjualan dan trandsaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara perporsional dengan biaya amortisasi aktiva yang disewa guna usaha apabila leaseback merupakan capital lease atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback merupakan operating lease.

1.2. Pada Sewa Menyewa Biasa (Operating Lease)
Pembayaran sewa guna usaha selama tahun berjalan merupakan biaya sewa yang diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus selama masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha dilakukan dalam jumlah yang tidak sama pada setiap periode.  Barang modal yang disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva sewa guna usaha berdasarkan harga perolehan. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus dilukan dalam jumlah yang layak berdasarkan taksiran masa manfaatnya. Kalau aktiva yang disewagunausahakan dijual maka perbedaan antara nilai buku dan harga jual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian tahun berjalan.


2. Perlakuan Akuntansi Oleh Perusahaan Sewa Guna Usaha (Lessor)
Berbeda dengan pihak lessee, lessor memperlakukan transaksi sebagai berikut :
2.1. Pada Finance lease
a) Penanaman netto dalam aktiva yang disewaguna ushakan harus diperlakukan dan  dicatat sebagai penanaman netto sewa guna usaha. Jumlah penanaman netto terdiri dari jumlah piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang akan diterima oleh perusahaan sewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha dikurangai dengan pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income), dan simpanan jaminan (security income).
b) Selisih antara piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dengan
perolehan aktiva yang disewaguna usahakan diperlukan sebagai pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income).
c) Pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui harus dialokasikan secara konsisten  sebagai pendapatan tahun berjalan berdasarkan tingkat pengembalian berkala (Periodie rate of retur) atas penanaman netto perusahaan sewa guna usaha.

2.2. Pada Operating Lease
a) Barang modal yang disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva sewa guna usaha berdasarkan harga perolehan.
b) Pembayaran sewa guna usaha (lese payment) selama tahun berjalan yang diperoleh dari penyewa guna usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa. Pendapatan sewa harus diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus sepanjang masa sewa guna usaha, meskipun pembyaran sewa guna usaha mungkin dilakukan dalam jumlah yang tidak sama setiap periode
c) Penyusutan aktiva yang disewagunausa

Contoh  kasus : PT. SAMUDRA menyewa peralatan pabrik dari PT. SAKURA untuk masa sewa 5 tahun dengan syarat sebagai berikut :
1.      Sewa dibayar dimuka tiap tgl 2 Januari. Untuk tahun pertama jatuh pada tanggal 2 Januari 2001.
2.      Jumlah sewa tahun pertama dan kedua masing-masing sebesar Rp. 30.000.000,00. Sementara untuk tahun ketiga , keempat dan kelima masing-masing Rp. 20.000.000,00.
Dari data contoh diatas, jumlah sewa untuk masa 5 tahun adalah 2 X Rp. 30.000.000,00 + 3 X Rp.20.000.000,00. Dengan menggunakan metode garis lurus, jumlah sewa tiap tahun adalah Rp.120.000.000,00.: 5 = Rp 24.000.000,00
Pembayaran sewa untuk tahun 2001 sebesar Rp. 30.000.000,00. dicatat dengan jurnal sebagai berikut.
Jan. 2    Beban Sewa                                       Rp. 24.000.000,00 -
             Sewa   Dibayar Dimuka                     Rp. 6.000.000,00 -
                         Kas                                                                             Rp. 30.000.00,00

Pembayaran sewa untuk tahun 2002 sebesar Rp. 30.000.000,00. dicatat dengan jurnal sebagai berikut.

Jan. 2   Beban sewa                                        Rp. 24.000.000,00 -
 Sewa dibayar Dimuka                        Rp. 6.000.000,00 -
Kas                                                                               Rp. 30.000.000,00

Pembayaran sewa untuk tahun 2003 (tahun ketiga) sebesar Rp. 20.000.000,00. dicatat dengan jurnal sebagai berikut:
Jan. 2               Beban sewa                             Rp. 24.000.000,00 
Sewa dibayar Dimuka -                                   Rp. 4.000.000,00
Kas                                                                   Rp. 20.000.000,00
Demikian pula untuk pembayaran sewa tahun keempat dan kelima, dicatat dengan jurnal seperti  da pembayaran sewa tahun ketiga diatas, sehingga akun Sewa Dibayar Dimuka selama masa sewa guna usaha(secara keseluruhan) akan tampak seperti dibawah ini

Sewa Dibayar Dimuka


Jan. 2, 2001 Rp. 6.000.000,00 Jan. 2, 2003 Rp. 4.000.000,00
Jan. 2, 2002 Rp. 6.000.000,00 Jan. 2, 2004 Rp. 4.000.000,00
Jan. 2, 2005 Rp. 4.000.000,00

Pada ahir masa guna, akun Sewa Diby\ayar Dimuka tidak mempunyai saldo. Ada kalanya sewa pada tahun-tahun pertama lebih kecil daripada sewa tahun-tahun terahir. Misalnya : dari data contoh dimuka, sewa pada tahun pertama, kedua dan ketiga masing-masing sebesar Rp.20.000.000,00. Sementara sewa untuk tahun keempat dan kalimat masing-masing Rp.30.000.000,00. Dalam hak demikian, pembayaran sewa untuk pertama, kedua dan ketiga, masing-masing dicatat dalam jurnal berikut :

Jan. 2               Beban sewa Rp. 24.000.000,00 -
Hutang Sewa              Rp. 4.000.000,00
Kas                               Rp. 20.000.000,00

Pembayaran sewa untuk tahun keempat dan kelima, masing-masing dicatat dengan jurnal sebagai berikut :
Jan. 2               Beban sewa                 Rp. 24.000.000,00 -
Hutang Sewa              Rp. 6.000.000,00 -
Kas                               Rp. 30.000.000,00
Dalam hal jatuh tempo pembayaran sewa pada saat periode akuntansi sedang berjalan, misalnya dari data pada contoh dimuka, pembayaran sewa untuk tahun 2001 jatuh pada tgl 1 April 2001. Dalam hal demikian pada ahir periode harus dibuat penyesuaian. Jurnal penyesiaian yang dibuat 31 Desember 2001, sebagai berikut :
Des.31             Sewa Dibayar Dimuka            Rp. 6.000.000,00 -
Beban Sewa                             Rp. 6.000.000,00
(mencatat sewa bulan Januari, Februari dan Maret 2002 yang telah dibayar tahun 2001)

Sehubungan dengan Pos jurnal penyesuaian di atas, pada awal

Sehubungan dengan Pos jurnal penyesuaian di atas, pada awal periode tahun 2002, dibuat jurnal pembalik sebagai berikut :
Jan. 2               Beban Sewa                           Rp. 6.000.000,00 -
Sewa Dibayar Dimuka             Rp. 6.000.000,00



KESIMPULAN

Dalam menjalankan operasinya perusahaan membutuhkan aktiva tetap dan untuk memperolehnya perusahaan dapat menggunakan cara yang berbeda-beda. Salah satu yang paling mudah adalah dengan cara membelinya. Memperoleh aktiva tetap dengan cara pembelian menimbulkan berbagai keuntungan dan kerugian bagi pernsahaan dan memerlukan berbagai pertimbangan. Perusahaan perlu memikirkan apakah dana yang ada mencukupi atau diperlukan suatu pinjaman, dan resiko lain seperti ketinggalan zaman sehingga tidak ekonomis lagi bila dipakai ataupun ada resiko kegagalan memakai serta kemungkinan biaya pemeliharaan  yang terlalu tinggi. Cara lain dalam memperoleh aktiva yang dapat diterapkan adalah dengan cara leasing.



siswandy
KA.  42

Kamis, 18 Oktober 2012

MATERIALITAS DAN RESIKO AUDIT



MATERIALITAS
DAN
 RESIKO AUDIT

Pendahuluan
            Materialitas mendasari penerapan standar auditing, terutama yang berkaitan dengan penerapan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan, serta tercermin dalam laporan auditor bentuk baku. Materialitas dan risiko sangat fundamental bagi perencanaan audit dan perancangan pendekatan audit. Risiko audit dan materialitas , bersama dengan hal-hal lain, perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat, saat, dan lingkup prosedur audit serta dalam mengevaluasi hasil prosedur.

Materialitas
            Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai :
“Besarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi  tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji tersebut.”
            Definisi diatas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan keadaan-keadaan yang berhubung dengan satuan usaha (perusahaan klien), dan informasi yang diperlukan oleh mereka yang akan mengandalkan pada laporan keuangan yang telah diaudit. Karena tanggung jawab menentukan apakah laporan keuangan salah saji secara material, auditor harus, berdasarkan temuan salah saji yang material, menyampaikan hal itu kepada klien sehingga bisa dilakukan tindakan koreksi.
            Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau keseluruha, adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Sedangkan beberapa hal lainnya adalah tidak penting. Auditor mengikuti lima langkah yang saling terkait erat dalam menerapkan materialitas.

Pentingnya Konsep Materialitas Dalam Audit Atas Laporan Keuangan
           
Dalam audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat karena auditor yang bersangkutan tidak memeriksa setiap transaksi yang terjadi dalam tahun yang diaudit dan tidak dapat menentukan apakah semua transaksi yang terjadi telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi secara semestinya ke dalam laporan keuangan.

Oleh karena itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan (assurance) sebagai berikut:
  1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan, dan dikompilasi.
  2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.
  3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat (atau memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan.
      
      Dengan demikian ada dua konsep yang mendasari keyakinan yang diberikan oleh auditor yaitu: konsep materialitas yang menunjukkan seberapa besar salah sajinya dan konsep risiko audit yang menunjukkan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.


Menetapkan Pertimbangan Awal Materialitas
            SAS 107 (AU 312) mengharuskan auditor memutuskan jumlah salah saji gabungan dalam laporan keuangan, yang akan mereka anggap material pada awal audit ketika sedang mengembangkan strategi audit secara keseluruhan. Keputusan tersebut disebut sebagai pertimbangan pendahuluan tentang materialitas. Karena, meskipun merupakan pendapat professional , hal itu mungkin saja berubah selama penugasan. Pertimbangan ini harus didokumentasikan dalam file audit.
Faktor-faktor yang akan mempengaruhi pertimbangan pendahuluan auditor tentang materialitas untuk seperangkat laporan keuangan tertentu:
1.      Materialitas adalah konsep yang bersifat relatif ketimabang absolut
Salah saji material bagi suatu perusahaan belum tentu material juga bagi perusahaan lain.
2.      Dasar yang diperlukan untuk mengevaluasi materialitas
Karena materialitas bersifat relative, diperlukan dasar untuk menentukan apakah salah saji itu material. Laba bersih sebelum pajak sering kali menjadi dasar utama untuk menentukan berapa jumlah material bagi perusahaan yang berorientasi laba, karena jumlah ini dianggap sebagai item informasi yang penting bagi para pemakai.
3.      Faktor-faktor kualitatif yang juga mempengaruhi materialitas, contoh :
Ø  Jumlah karena ketidakberesan lebih penting daripada kekeliruan yang tidak   disengaja karena ketidakberesan mencerminkan kejujuran dan keandalan dari pihak manajemen atau pihak yang terlibat.
Ø  Kekeliruan yang kecil dianggap material jika berhubungan dengan kewajiban kontrak.
Ø  Kekeliruan yang tidak material dapat menjadi material kalau mempengaruhi kecenderungan laba.

Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini :
       a.            Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan.
       b.            Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
            Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini :
      1.            Materialitas pada Tingkat Laporan Keuangan
            Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas. Pertama auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, kedua pada saat mengevaluasi bukti-bukti audit dalam pelaksanaan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Jadi auditor harus mempertimbangkan dengan baik penaksiran materialitas pada tahap perencanaan audit. Jika auditor menentukan jumlah materialitas terlalu rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu tinggi auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan sehingga ia memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang sebenarnya berisi salahsaji material.
            Laporan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara indifidual atau secara gabungan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan tersebut. Kenyataannya setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu materialitas.
      2.            Materialitas pada Tingkat Saldo Akun
            Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidakboleh dicampur adukan dengan saldo akun material. Karena saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keungangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji dalam akun tersebut.
            Dalam mempertimbangakan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbangkan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.
      3.            Alokasi Materialitas Laporan Keuangan ke Akun
            Bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan di klasifikasikan, penaksiran awal tentang materialitas untuk setiap akun dapat diperoleh dengan mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi. Namun, karena hampir semua salah saji laporan laba rugi mempengeruhi neraca dan karena akun neraca lebih sedikit banyak auditor melakuan alokasi atas dasar akun neraca.
            Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut.

Estimasi Salah Saji Dengan Pertimbangan Awal
Ketika melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen audit, auditor membuat kertas kerja untuk mencatat semua salah saji yang ditemukan. Salah saji yang ditemukan dalam suatu akun dapat dibedakan menjadi 2 jenis,
1.      Salah Saji yang Diketahui adalah salah saji dalam akun yang jumlahnya dapat ditentukan oleh auditor.
2.      Salah Saji yang Mungkin.


Perhitungan proyeksi langsung estimasi salah saji :
                         Salah saji bersih dalam sampel      *   Total nilai populasi  
                                      Total Sampel                                 yang tercatat       







RISIKO AUDIT
            Dalam perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan risiko audit. Menurut SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya.
            Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verivikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah.

Risiko Audit Pada Tingkat Laporan Keuangan Dan Tingkat Saldo Akun
            Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko audit, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua bagian :
      1.            Risiko Audit Keseluruhan (Overall Audit Risk)
Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan risiko audit keseluruhan yang direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang dapat ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar, padahal kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi salah saji material.
      2.            Risiko Audit Individual
Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko audit keseluruhan harus dialokasikan kepaada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali sangat penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi perubahan.


Model Resiko Audit
PDR = AAR/(IR*CR)
IR x CR
PDR = Risiko penemuan yang direncanakan ( Planned Detection Risk )    
            AAR = Risiko audit yang dapat diterima ( Acceptable Audit Risk )
            IR = Risiko bawaan ( Inherent Risk )
            CR = Risiko pengendalian ( Control Risk )
·         Risiko penemuan yang direncanakan ( Planned Detection Risk )
Yaitu bahwa bahan bukti yang dikumpulkan dalam segmen gagal menemukan salah saji yang melewati jumlah yang dapat ditoleransi, kalau salah saji semacam itu timbul.
·         Risiko Bawaan ( Inherent Risk )
Penetapan auditor akan kemungkinan adanya salah saji dalam segmen audit yang melewati batas toleransi, sebelum memperhitungkan faktor efektifitas pengendalian intern.
·         Risiko pengendalian ( Control Risk )
Yaitu ukuran penetapan auditor akan kemungkinan adanya kekeliruan (salah saji) dalam segmen audit yang melewati batas toleransi, yang tak terdeteksi atau tercegah oleh SPI klien.
·         Risiko audit yang dapat diterima ( Acceptable Audit Risk )
Yaitu ukuran ketersediaan auditor untuk menerima bahwa L/K salah saji secara material walaupun audit telah selesai dan pendapat WTP telah diberikan. Bersifat subyektif.
Risiko Bawaan
·         Model risiko audit mengandung risiko bawaan berarti auditor harus memprediksi dimanakah salah saji yang paling mungkin terjadi dan dimana yang kemungkinannya paling kecil. Informasi ini jumlah bahan bukti yang akan dikumpulkan dan bagaimana auditor mengalokasikannya pada segmen-segmen audit.
·         Risiko bawaan dapat relatif rendah pada kasus tertentu dan cukup tinggi pada kasus lain.

·         Faktor-faktor yang harus ditelaah dalam menetapkan risiko bawaan :

* Sifat bidang usaha klien 
* Hubungan istimewa 
* Integritas manajemen 
* Transaksi tidak rutin 
* Motivasi klien 
* Pertimbangan yang diperlukan untuk mencatat 
* Hasil audit sebelumnya
saldo akun dan transaksi secara benar 
* Penugasan pertama atau penugasan ulang 
* Kerentanan terhadap kecurangan 
* Unsur-unsur populasi 


Mengubah risiko audit yang dapat diterima untuk risiko usaha
Faktor-faktor yang mempengaruhi risiko usaha sehingga akan mempengaruhi risiko audit yang dapat diterima :
  1. Tingkat ketergantungan pemakai pada L/K
Jika pemakai memiliki ketergantungan yang besar pada L/K, maka risiko audit perlu diperkecil. Faktor yang menunjukkan tingkat ketergantungan :
·         Ukuran perusahaan klien
·         Distribusi kepemilikan
·         Jumlah dan sifat kewajiban perusahaan
2.      Kemungkinan akan adanya kesulitan keuangan klien yang timbul setelah laporan audit diterbitkan.
Dalam hal ini, auditor akan diminta untuk mempertahankan kualitas audit yang dilaksanakannya, bahkan kemungkinan akan dituntut di pengadilan. Jika auditor merasa ada kemungkinan kegagalan finansial atau kerugian besar dan peningkatan risiko usaha, sebaiknya auditor menurunkan AAR
  1. Evaluasi auditor atas integritas manajemen.
Jika integritas dipertanyakan maka AAR akan rendah. Jika integritas rendah, sering timbul konflik dengan pedagang saham, konsumen, dan aparat negara sehingga akan mempengaruhi anggapan pemakai atas kualitas audit dan dapat menyebabkan tuntutan


Menetapkan risiko audit yang dapat diterima.
  • Menyelidiki kondisi klien, menilai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat ketergantungan pemakai ekstern terhadap laporan, kemungkinan kegagalan keuangan setelah audit selesai, dan integritas manajemen.
  • Auditor menetapkan tingkat risiko sementara yang bersifat subyektif bahwa L/K berisi salah saji material setelah audit selesai.
  • Kemungkinan memperoleh informasi tambahan mengenai klien dan memodifikasi AAR.
Mengevaluasi Hasil
Model risiko audit untuk mengevaluasi hasil audit sesuai SAS 47 :
        AcAR = IR x CR x AcDR
AcAR    = Risiko audit yang dicapai (Achieved Audit Risk )
Yaitu satu ukuran risiko yang diambil audit bahwa satu akun dalam L/K secara material salah saji setelah auditor mengumpulkan bahan bukti audit.
IR     = Risiko bawaan ( Inherent Risk )
Yaitu faktor risiko bawaan yang telah direvisi selama audit.
CR    = Risiko pengendalian ( Control Risk )
Yaitu risiko pengendalian yang telah direvisi.
AcDR    = Risiko penemuan yang dicapai ( Achieved Detection Risk )
Yaitu satu ukuran dari risiko bahwa bahan bukti audit untuk satu segmen tidak mendeteksi salah saji melebihi jumlah yang dapat ditoleransi, jika salah saji tersebut ada.
Auditor dapat mengurangi penemuan yang dicapai hanya dengan mengumpulkan bahan bukti.
Contoh : Jika risiko audit yang dapat dicapai (AcDR) 4%, berarti ada 4% risiko bahwa saldo akun persediaan mengandung salah saji lebih dari salah saji yang dapat ditoleransi.
Keadaan yang diinginkan jika AcAR <= AAR
Merevisi Risiko dan Bahan Bukti
  • Auditor harus berhati-hati dalam memutuskan bahwa berdasarkan bahan bukti yang telah dikumpulkan penetapan CR atau IR semula terlalu kecil atau AAR terlalu besar. Tindakan yang dapat diambil oleh auditor :
  1. Penetapan risiko harus direvisi.
  2. Auditor harus memperhitungkan efek perubahan ini terhadap jumlah bahan bukti yang disyaratkan, tanpa menggunakan model risiko audit.


Hubungan Antara Materialitas, Risiko, Audit, Bukti Audit
            Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit digambarkan sebagai berikut :
  1. Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat meterialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
  2. Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
  3. Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit, auditor dapat menempuh salah satu dari tiga cara berikut ini :
a.       Menambah tingkat materialiras, sementara itu mempertahankan jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
b.      Menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan, sementara itu tingkat materialitas tetap dipertahankan.
c.       Menambah sedikit jumlah bukti audit yang dikumpulkan dan tingkat materialitas secara bersama-sama.

 
 
FAKTOR – FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI RISIKO :

·         Efektivitas pengendalian
Intern
·         Keandalan yang direncanakan
·         Sifat usaha klien
·         Integritas manejemen
·         Motivasi klien
·         Hasil audit sebelumnya
·         Penugasan pertama atau penugasan ulang
·         Hubungan istimewa
·         Transaksi tidak rutin
·         Pertimbangan yang diperlukan
·         Kerentanan terhadap kecurangan
·         Unsur-unsur populasi

Risiko Bawaan
Risiko
Pengendalian


Risiko Penemuan yang
Direncanakan
Bahan Bukti yang Direncanakan
Risiko Audit yang
Dapat Diterima


·         Tingkat ketergantungan pemakai ekstrn terhadap laporan keuangan
·         Kemungkinan akan adanya kesulitan keuangan
·         Integritas manajemen
 





 












Disusun Oleh :
Ø  SISWANDI